7 Desember 2025 - 17:45
Prancis Kembali Jadi Pusat Kontroversi / Polemik Baru soal Larangan Jilbab dan Puasa

Usulan terbaru para senator sayap kanan untuk melarang jilbab dan puasa Ramadan bagi anak-anak dan remaja di bawah 16 tahun telah memicu gelombang kontroversi politik dan sosial di Prancis.

Kantor Berita Internasional Ahlulbait  – ABNA — Prancis kembali berada di tengah badai politik dan sosial bernuansa keagamaan, setelah munculnya usulan-usulan parlemen terbaru tentang pelarangan jilbab dan puasa Ramadan bagi warga berusia di bawah 16 tahun, yang memicu perdebatan luas.

Isu ini kembali mengangkat salah satu persoalan paling sensitif dalam masyarakat Prancis ke permukaan; persoalan yang selama ini banyak diwarnai kritik terhadap riset-riset bias, jajak pendapat yang menyederhanakan persoalan, serta penciptaan suasana ketakutan terhadap “yang berbeda”, yang pada akhirnya menggerus prinsip-prinsip dasar Republik Prancis secara berbahaya.

Dengan semakin dekatnya jadwal pemilu mendatang di Prancis, tampaknya isu ini akan tetap berada di pusat perhatian, bahkan berpotensi menjadi salah satu poros utama polarisasi politik dalam tahun-tahun ke depan.

Antara Sekularisme dan Pembenaran Hukum

Dalam sebuah laporan setebal 100 halaman berjudul “Islamisme: Hambatan bagi Kohesi Nasional Kita” yang dirilis pada 25 November, para politisi sayap kanan Prancis menyerukan pelarangan jilbab dan puasa Ramadan bagi individu di bawah 16 tahun. Mereka juga mengusulkan agar pendamping siswa dalam kegiatan sekolah dilarang mengenakan jilbab.

Dua usulan ini merupakan bagian dari 17 rekomendasi yang diajukan oleh 29 anggota Senat Prancis dari Partai Republik, yang dipimpin oleh Senator Jacqueline Eustache-Brinio. Kelompok ini menyebut kedua praktik tersebut sebagai bentuk kekerasan psikologis dalam pendidikan.

Para senator Republik Prancis menggambarkan jilbab sebagai simbol pemisahan gender, alat kontrol sosial, dan penanda batas identitas, serta menggunakan dalih perlindungan anak untuk membenarkan usulan-usulan mereka.

Pada 18 November, lembaga survei IFOP juga merilis sebuah studi mendalam tentang hubungan Muslim Prancis dengan agama mereka; studi ini menurut banyak kalangan memiliki arah ideologis yang jelas dan menuai kritik luas. Harian Le Monde mengungkap bahwa studi tersebut dipesan oleh media dan situs web yang mengklaim memerangi ekstremisme, dan sebagian di antaranya disebut-sebut melakukan pengaitan dengan jaringan yang dikaitkan dengan Ikhwanul Muslimin.

François Burgat, peneliti dan pemikir Prancis, menegaskan bahwa meskipun survei IFOP menunjukkan bias yang jelas, persoalannya bukan sekadar menolak hasilnya, melainkan mengkritik kerangka dan narasi yang dibangun di dalamnya. Ia mengatakan:
“Kembalinya religiusitas di kalangan pemuda Muslim Prancis di tengah atmosfer Islamofobia saat ini bukanlah hal yang mengherankan, tetapi tidak boleh ditafsirkan sebagai penyakit atau ancaman bagi masyarakat.”

Polemik Lama yang Kembali Bangkit

Esmahan Chouder, aktivis dan dosen universitas, menyatakan bahwa apa yang terjadi saat ini merupakan kelanjutan dari 30 tahun tren Islamofobia di Prancis, yang kini tampil lebih terbuka dan tanpa kamuflase. Ia menambahkan:
“Serangan ini kini bukan hanya datang dari kanan ekstrem; sebagian media arus utama juga turut berperan.”

Chouder, yang juga pendiri perkumpulan “Perempuan untuk Kesetaraan”, mengatakan bahwa gelombang ini biasanya muncul menjelang pemilu atau pada masa-masa ketegangan sosial untuk mengalihkan perhatian publik. Namun menurutnya, kali ini intensitas dan jangkauannya meningkat secara mengkhawatirkan.

Menurut penelitian IFOP, tingkat komitmen keagamaan di kalangan generasi muda Muslim Prancis terus meningkat; sebagian pihak menafsirkan ini sebagai reaksi terhadap rasa dikucilkan, sementara yang lain melihatnya sebagai tanda kemunduran model integrasi sosial tradisional.

François Burgat menjelaskan: “Hingga sebelum 2020, pemerintah Prancis menekan perilaku-perilaku minoritas kecil dari kaum Muslim; tetapi sejak saat itu, bukan hanya perilaku, bahkan keyakinan dan praktik paling wajar dari mayoritas Muslim pun kini menjadi sasaran.”

Menurutnya, kini telah terbentuk kompetisi politik antara pemerintah dan kelompok kanan ekstrem untuk semakin mengeraskan wacana Islamofobia, dan dua kebijakan terbaru ini merupakan kelanjutan dari jalur tersebut.

Pembentukan Citra “Musuh Internal”

Dewan Keislaman Prancis dalam sebuah pernyataan menyebut bahwa sebuah penelitian tentang Muslim Prancis telah dipesan oleh Dewan Perwakilan Lembaga Yahudi Prancis (CRIF), dan dilaksanakan oleh seorang pengusaha Prancis bekerja sama dengan seorang agen Israel.

Dewan tersebut menyatakan akan membawa persoalan ini ke Lembaga Nasional Perlindungan Data, karena data keagamaan dan etnis termasuk informasi yang sangat sensitif.

Esmahan Chouder menyebut langkah ini sebagai rekayasa yang terang-terangan, seraya mengatakan bahwa banyak peneliti dan sejarawan non-Muslim telah menunjukkan bahwa organisasi CRIF—khususnya dalam dua tahun terakhir dan seiring peristiwa Gaza—telah berubah menjadi lengan aktif Islamofobia.

Ia meyakini bahwa dengan dalih memerangi antisemitisme, terdapat upaya untuk membungkam atau mendiskreditkan semua suara pembela hak asasi manusia, khususnya mereka yang menentang pembantaian di Palestina.

Chouder menuturkan: “Ketika kamu terus-menerus diperkenalkan sebagai ancaman, musuh internal, atau bahaya bagi sistem pendidikan dan sosial, maka wajar jika—sebagai seorang Muslim di Prancis—kamu merasa harus menarik diri dan mencari perlindungan di ruang yang lebih aman.”

Ia menegaskan bahwa perasaan terpinggirkan ini semakin kuat di kalangan pemuda Muslim dan telah melahirkan semacam kemarahan serta perlawanan terhadap slogan resmi hidup berdampingan dan bekerja bersama.

Your Comment

You are replying to: .
captcha